Translate

Jumat, 10 Februari 2017

Biografi al-Iman Abu Manshur al-Maturidi

Nama lengkapnya Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi, nisbah kepada Maturid, nama distrik di Samarkand, negeri yang terletak di seberang sungai Amu Dariya (seberang sungai Jihun), daratan Transoxiana.
                 Tidak ada data sejarah yang menginformasikan tahun kelahirannya secara pasti. Akan tetapi menurut dugaan kuat, dia dilahirkan pada masa khalifah al-Mutawakkil (205-247 H/820-861 M), Khalifah ke-10 dari dinasti Abbasiyah. Diperkirakan al-Maturidi lahir sekitar 20 tahun sebelum lahirnya al-Imam al-Asy’ari.
                 Secara geneologis, nasah Abu Manshur al- Maturidi masih bersambung dengan sahabat Rasulullah dari kaum Anshar, yaitu Abu Ayyub al-Anshari (w. 52 H/672 M). hal ini menjadi bukti bahwa al-Maturidi lahir dari keluarga terhormat dan terpandang di kalangan masyarakat, karena ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah,beliau singgah dan tinggal di rumah Abu Ayyub al-Anshari, sahabat yang menjadi saksi hidup peristiwa Bai’at al-‘Aqabah, dan mengikuti peperangan Badar, Uhud, Khandaq dan lain-lain.
               Al-Maturidi lahir dari lingkungan keluarga ulama yang sudah barang tentu mencintai ilmu Agama. Sehingga hal tersebut sangat mempengaruhi perkembangan intelektual Al-Maturidi yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mencintai ilmu agama sejak usia dini. Selain ditopang dengan kecerdasannya yang luar biasa, Al-Maturidi juga seorang pelajar yang tekun dan gigih dalam menuntut ilmu, sehingga pada akhirnya mengantar reputasi intelektual Al-Maturidi ke puncak kecemerlangan dengan menyandang beberapa gelar seperti, Imam al-Huda (pemimpin kebenaran), Qudwat Ahl al –Sunnah wa al-Ihtida’ (panutan pengikut sunnah dan petunjuk), Rafi’ ‘Alam al-Sunnah wa al-Jama’ah (pengibar bendera sunnah dan jama’ah), Qali’ Adhalil al-Fitnah wa al-Bid’ah (pencabut kesesatan fitnah dan bid’ah), Imam al-Mutakallimin (penghulu para teolog) dan Mushahhih ‘Aqa’id al-Muslimin (korektor akidah kaum muslimin). Gelar-gelar tersebut membuktikan posisi intelektual Al-Maturidi yang sangat istimewa dalam pandangan murid-muridnya.
Background Sosial, Politik dan Pemikiran Al-Maturidi
                Al-Maturidi hidup di negeri samarkand, Uzbekistan. Kehidupannya berkisar antara paruh kedua abad ketiga Hijriah dan paruh pertama abad keempat Hijriah. Dalam catatan sejarah, Samarkand pada mulanya di masuki dan di taklukan oleh pasukan kaum Muslimin pada tahun 55 H/675 M dibawah kepemimpinan panglima Sa’id bin Utsman , ketika menjabat sebagai gubernur Khurasan pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sa’id bin Utsman menyeberangi sungai Amu Daria dan melakukan pengepungan terhadap negeri Samarkand, tetapi kemudian meninggalkannya. Pada tahun 78 H/697 M, panglima Qutaibah bin Muslim bersama pasukannya untuk pertama kalinya menyeberangi sungai Amu Daria dan memerangi negeri Bukhara, Syas dan singgah di Samarkand. Setelah itu,Qutaibah bin Muslim melakukan penyerangan terhadap negeri-negeri seberang sungai Amu Daria selama tujuh tahun.
            Pada masa Al-Maturidi, kerajaan Samarkand dikuasai oleh dinasti Saman, dinasti yang berasal dari sebuah desa di Samarkand,yang bernama desa Saman. Dinasti ini tercatat sebagai dinasti terbaik yang memerintah Samarkand. Mereka sangat menghormati dan memuliakan ilmu agama dan kalangan ulama. Dinasti Saman ini berhasil menguasai Khurasan dan negeri-negeri seberang sungai Amu Daria sejak tahun 261 H/875 M sampai tahun 389 H/999 M. dinasti ini di pimpim oleh Asad bin Saman dan diteruskan oleh keempat anaknya yang menjadi pembantu Khalifah al-Makmun sekaligus sebagai penguasa otonom di Khurasan dan Samarkand.
            Situasi politik dan pemikiran yang berkembang pada masa Al-Maturidi,berkaitan erat dengan situasi politik dan pemikiran yang sedang berkembang di dunia islam pada umumnya. Di mana pada saat itu, negara islam pada paruh kedua abad ketiga dan abad keempat menyaksikan berbagai disintregasi politik yang sangat kritis,yang sudah barang tentu membawa pada terpecah belahnya negara dalam beberapa daerah kekuasaan dan pengaruh. Negeri Andalusia di kuasai oleh dinasti Umawi, Maroko dikuasai dinasti Idrisi, Moushul dan Aleppo dikuasai dinasti Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai dinasti Thulun dan Akshyid, Irak dikuasai dinasti Turki dengan mengatasnamakan Khalifah Abbasi. Sedangkan Persia menjadi beberapa dinasti yang sangat berpengaruh. Dinasti Dulafiyah menguasai Kurdistan, dinasti Shafariyah menguasai Paris, dinasti Saman menguasai Persia dan negeri seberang sungai Amu Daria, dinasti Ziyadiyah menguasai Jurjan, dinasti Hasnawiyah menguasai Kurdistan,dinasti Buwaihiyah menguasai Persia bagian selatan, dan dinasti Ghaznawiyah menguasai India dan Afganistan. Disintregasi negara islam yang terpecah belah menjadi beberapa daerah otonom ini, juga disokong oleh lemahnya otoritas Khalifah Abbasi di Baghdad, dan tampilnya ras Turki dan Persia yang berupaya menjadikan Khalifah sebagai boneka. Jabatan Khalifah hanya sebatas simbol belaka, sedangkan penguasa yang sesungguhnya adalah orang-orang Turkmen dan Persia.

Guru-guru Al-Maturidi
Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi adalah deklarator madzhab Maturidi, aliran pemikiran dan teologis besar yang merupakan cabang kedua dalam pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dia berguru kepada para ulama terkemuka bermadzhab Hanafi, yang diakui kedalamannya dalam bidang fiqih dan teologi, yang mereka peroleh dari sumber yang tak pernah kering,yaitu kitab-kitab al-Iman Abu Hanifah yang telah memberikan kesegaran, penjelasan dan analisa terhadap generasi demi generasi. al-Maturidi sendiri menyatakan,telah mempelajari kitab-kitab Abu Hanifah tersebut, yaitu al-Fiqh al-Absath, al-Risalah, al-‘Alim wa al-Muta’allim dan al-Washiyyah kepada guru-gurunya seperti Abu Nashr al-‘Iyadhi, al-Juzajani dan al-Balkhi. Ketiga guru tersebut berguru kepada al-Imam Abu Sulaiman al-Jazujani, murid al-Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan di kemukakan beberapa nama guru-guru al-Maturidi
Ø Abu Nashr al-‘Iyadhi
Ø Abu Bakar Ahmad bin Ishaq al-Jazujani
Ø Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H/863 M)
Ø Muhammad bin Muqatil al-Razi (w. 248 H/863 M)

Karya-Karya al-Maturidi
Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi telah menulis banyak karangan,yang membuktikan kedalaman,kesuburan dan ilmu pengetahuannya yang beragam dalam berbagai bidang, mencakup ilmu tafsir, fiqih, ushul fiqih, teologi, bantahan terhadap orang Qaramithah, Rafidhah (Syi’ah), Mu’tazilah dan ateis. Ilmu pengetahuan yang dikuasai Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi secara mendalam dan komprehensif meliputi berbagai ilmu keislaman dan filsafat yang dia tuangkan dalam bentuk karangan karangan.
             Terdapat sekitar 17 judul karya al-Maturidi, diantaranya yaitu kitab al-Tauhid, kitab al-Muqalat, al-Radd ‘Ala a-Qaramithah, Bayan Wahn al-Mu’tazilah, Radd al-Ushul al-Khamsah, Radd kitab Wa’id al-Fussaq, Radd Awa’il al-Adillah, Radd tahdzid al-Jadal, Syarh al-Fiqh al-Akbar dan lain-lain. Namun sayang sekali, dari sekian banyak karya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi, hanya sedikit yang informasinya sampai kepada generasi sekarang, diantaranya adalah :
v Ta’wilat Ahl al-Sunnah
v Ma’khadz al-Syara’i dan kitab al-Jadal
v Kitab al-Tauhid


Wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi
Ada perbedaan ringan di kalangan sejarawan tentang tahun wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi , hal ini berbeda dengan tahun kelahirannya, yang tidak ada informasi sama sekali di kalangan mereka. Mayoritas literatur sejarah hampir sepakat bahwa Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 H/944 M. akan tetapi Thasy Kubri Zadah dalam kitab Miftah al-Sa’adah dan Ibn Kamal Basya dalam kitab Thabaqat al-Hanafiyyah menyebutkan bahwa ada riwayat lemah yang mengatakan Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi wafat tahun 336 H. sementara Abu al-Hasan al-Nadwi ulama kontemporer berkebangsaan India menyebutkan bahwa Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi wafat tahun 332 H. barangkali al-Nadwi mengambil informasi tersebut dari kitab Syarh al-Fiqih al-Akbar yang oleh pakar masih diragukan autentisifikasinya sebagai karya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi . boleh jadi,al-Nadwi mengambilnya dari al-Bayadhi dalam kitab Isyarat al-Maram. Namun riwayat yang paling kuat tentang wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi adalah tahun 333 H/944 M, karena mayoritas literatur biografi ulama madzhab Hanafi menyepakatinya. Wallahu a’lam

Biografi Abul Hasan al-Asy’ari; Imam Besar Ahlussunnah Wal Jama’ah




Dialah adalah Ali Bin Isma’il Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Isma’il Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Shohib Rosulallahi Sollallahu ‘Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah Bin Qois Al-Asy’ari. Dia adalah Al-Imam Al-Mutakallim Al-Faqih Al-Ushuli yang sangat luas ilmunya sangat terkenal namanya di Maghrib (ujung barat) dan Masyriq (ujung timur), Sang Pembela As-Sunnah dan Penolong Ilmu Agama.

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dilahirkan pada tahun 260 H. Awal mulanya Al-Asy’ari mengikuti Madzhab Mu’tazilah yang diajarkan oleh ayah tirinya yaitu Imam Ali Al-Jubba’i Al-mu’tazili. Bahkan Al-Imam Al-Asy’ari sering menggantikan ayah tirinya untuk menghadiri Majelis perdebatan, dan semua orang mengakui kecerdesannya dan ilmunya. Sampai pada umur 40 tahun Al-Imam Al-Asy’ari menjadi Imamnya Mu’tazilah akhirnya Al-Imam Al-Asy’ari keluar dari Madzhab Mu’tazilah dikarenakan muncul sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ayah tirinya yaitu Ali Al-Jubba’i.

Al-Imam Al-Asy’ari bertanya kepada Ali Al-Jubba’i bagaimana tanggapan ayah tentang tiga bersaudara ini?

Pertama: Orang yang mati dalam keadaan taat.
Kedua: Orang yang mati dalam keadan bermaksiat.
Ketiga: Anak kecil (belum baligh) yang sudah mati.

Ali Al-jubba’i menjawabnya : Orang yang pertama mati dalam keaadan taat masuk surga, sedangkan yang kedua masuk neraka karna bermaksiat dan yang ketiga anak yang mati masih kecil tidak masuk surga tidak pula neraka.

Timbul pertayaan lagi di benak Imam Asy’ari, jika orang yang mati dalam keadaan kecil kemudian dia menggugat kepada Allah : “Wahai Tuhanku kenapa engkau tidak matikan saya dalam keadaan besar saja, maka aku akan selalu berbuat t’at kepadaMu, sehingga aku bisa masuk surga?”.

Ali Al-Jubba’i menjawabnya : “Maka, Allah akan menjawab : “Sesungguhnya aku lebih mengetahui dari pada engkau, jika Aku besarkan engkau niscaya engkau akan bermaksiat sehingga engkau akan masuk neraka, maka alangkah baiknya Aku wafatkan dirimu dalam keadaan kecil”.
Kemudian Al-Imam Al-Asy’ari bertaya lagi : “Jika orang yang kedua yaitu orang yang mati dalam keadaan bermaksiat, kemudian dia juga menggugat kepada Allah : “Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak matikan diriku dalam keadaan kecil saja, sehingga aku dan para Ahli Neraka tidak masuk Neraka”.

Akhirnya Imam Ali Al-Jubba’i menjawabnya : “Wahai Asy’ari, kamu sudah menyalahi aturan Aqidah yang sudah ada”.

Akhirnya Al-Imam Asy’ari keuar dari Madzhab Mu’tazilah yang katanya Madzhab Mu’tazilah selalu mendahulukan/mengunggulkan Rasio (akal). Setelah perdebatan sudah tidak terpecahkan oleh ayah tirinya Ali Al-Jubba’i, pada waktu itu Al-Imam Asy’ari keluar menuju Menara Masjid Jami’ Bashroh, kemudian naik ke Mimbar dengan suara yang sangat keras seraya berkata :

“Wahai para Manusia, barang siapa yang kenal padaku sungguh aku telah mengenalnya dan barang siapa yang tidak kenal kepadaku maka aku akan perkenalkan diriku siapa aku sebenarnya. Aku adalah Ali Bin Isma’il Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Shohib Rosulallah Sollallahu Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah Bin Qois Al-Asy’ari, dan aku adalah orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an Al-Karim adalah Makhluq dan Allah SWT tidak bisa dilihat di akhirat dengan suatu pandangan, begitupun seorang hamba yang menjadikan pekerjaannya dengan kehendaknya sendiri. Semua perkataanku ini aku cabut dan aku bertaubat dari Madzhab Mu’tazilah, dan aku telah membantah mereka (Mu’tazilah) dengan kejelekan-kejelekan mereka”.

“Wahai para manusia, jika di antara kalian tidak ada yang hadir pada saat ini sungguh aku telah mempunyai Dalil yang mencukupi untuk bekal hidup. Dan aku tidak mengunggulkan sesuatu apapun dengan sesuatu yang lain. Dengan dalil ini Allah telah memberikan petunjuk kepadaku menuju Aqidah yang lurus. Dan sungguh aku telah mencabut semuanya yang dulu aku yakini Aqidah Mu’tazilah sebagaimana aku mencabut baju yang dipenuhi kotoran dan telah aku buang jauh-jauh baju itu, dan yang aku ikuti sekarang adalah Madzhab yang benar yang merupakan Madzhabnya para Fuqoha’ dan Muhadditsin”.

Di antara murid Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
1. Al-Imam Abu Hasan Al-Bahili Al-Bashri.
2. Al-Imam Abu Abdullah Bin Mujahid Al-Basri.
3. Al-Imam Abu Muhammad Ath-Thobari Al-Ma’ruf Bil-‘Iroqi.
4. Al-Imam Abu Bakar Al-Qoffal Asy-Syasi.
5. Al-Imam Abu Sahal Ash-Shohluki An-Naisaburi.

Di antara penerus Ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
1. Al-Imam Al-Qodi Abi bakar Al-Bakilani Al-Maliki.
2. Al-Imam Abu Thoyyib Bin Abi Sahal Ash-Shohluki.
3. Al-Imam Abu Ali Ad-Daqqok.
4. Al-Imam Al-Hakim An-Naisaburi.
5. Al-Imam Abu bakar Bin Furok.
6. Al-Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Asbahani.

Kesemuanya adalah Murid dan Murid dari Muridnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari yang telah membangkitkan tegaknya Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di seluruh jagat bumi selalu menyampaikan Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di siang hari dan malam hari, mereka juga adalah orang yang menjunjung Nama besar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Komentar Ulama’ tentang Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari

1. Al-Imam Al-Hafidz Ibnu ‘Asakir berkata :
“Al-Imam Al-Asy’ari adalah orang yang perpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, orang yang sabar atas Agamanya dan penyabar atas cobaan-cobaan dan ujian yang menimpanya”.

2. Al-Imam Al-Hafidz Al-Baihaqi berkata :
“Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari adalah Imam Mujaddid di abad ketiga dan Al-Imam Al-Asy’ari tidak memperbarui Agama Allah dan tidak mendatangkan Bid’ah, bahkan Al-Imam Al-Asy’ari mengumpulkan Qoul-Qoulnya para sahabat dan tabi’in dan penolong Qoul-Qoulnya para Imam Mujtahid seperti Imam Abu Hanifah, Imam Sofyan Ats-Tsauri dari Ahli Kufah, dan Imam Al-Auza’i dari Ahli Syam, dan Imam Malik, Imam Syafi’i dari Ahli Haromain, dan Imam Ahmad Bin Hanbal Imam, Al-Laits Bin Sa’at, Imam Abi Abdullah Muhammad Bin Isma’il Al-Bukhori dan Imam Abu Al-Husain Muslim Bin Al-Hujjaj An-Naisaburi dari Ahli hadist dan Atsar”.

3. Sulthon Al-Ulama’ Al-Imam Izzuddin berkata :
“Sesungguhnya Aqidahnya Al-Imam Al-Asy’ari adalah Aqidah yang dikumpulkan dari Madzhab 4, yaitu : Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad Bin Hanba. Sungguh telah disepakati pada masanya Al-Imam Umar Bin Al-Hajib dari kalangan Malikiyah dan juga disepakati pada masanya Al-Imam Jamaluddin Al-Husairi dari kalangan Hanafiyah”.

4. Al-Imam Ibnu Kholkon berkata :
“Al-Imam Al-Asy’ari adalah Sang Pendiri Ilmu Teologi (Ilmu Tauhid) dan penegak ilmu Agama, pembela Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Memang awal mulanya Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari adalah penganut Madzhab Mu’tazilah tapi di kemudian hari Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bertaubat dari semua perkataanya”.

5. Al-Imam Ibnu Furok berkata :
“Pindahnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari kepada Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan Hujjah ‘Aqliyah (Argumen Rasio/Akal)”.

6. Al-Imam Al-Hafidz Adz-Dhahabi juga berkata :
“Sesungguhya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari bertaubat dan menaiki Mimbar Masjid Jami’ Bashroh dan Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata : “Sungguh aku bertaubat dari apa yang aku katakan dan aku membantah Madzhab Mu’tazilah yang selalu mengandalkan akalnya”.

Karangan Kitab Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari melebihi 200 karangan lebih di antaranya :
1. Kitab Al-Ibanah, tapi kitab ini sudah banyak mendapat Tahrif (perubahan) oleh para Wahabi, cuman ada sebagian cetakan kitab Al-Ibanah sedikit yang ditahrif versi cetakan Baghdad.
2. Kitab Al-Luma’: Yaitu kitab yang juga dikarang oleh Al-Imam Al-Asy’ari setelah mengarang kitab Al-Ibanah.

Syubhat Perjalanan A-Imam Abul Hasan Al-Asyari yang dilontakarkan Kaum Wahhabi

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari diduga oleh para Kaum Wahhabi bahwasannya Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengalami Tiga Fase peralihan Aqidah selama hidupnya.

Fase Pertama: Al-Imam Abu hasan Al-Asy’ari mengikuti Madzhab Mu’tazilah.
Fase Kedua : Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengikuti Al-Imam Abdullah Bin Sa’id Bin Kullab.
Fase Ketiga : Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari kembali pada Madzhab Salafi versi Wahhabi.

Semua Fase yang diikuti Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari ternyata salah, akan tetapi yang benar Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari cuma mengalami dua Fase peralihan saja, yaitu :

Fase Pertama: Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengikuti Madzhab Mu’tazilah
Fase Kedua: Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengikuti Madzhab Al-Imam Abdullah Bin Sa’id Bin Kullab yang tal lain adalah Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari generasi Salaf.

Akan tetapi Wahhabi masih bersikukuh bahwa Al-Imam Al-Asy’ari mengalami 3 masa peralihan Aqidah dalam hidupnya, yaitu :

Fase pertama: Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari di masa hidupnya mengikuti Madzhab Mu’tazilah kemudian setelah keluar dari Madzhab Mu’tazilah Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari mengikuti Madzhab Al-Imam Ibnu Kullab dan di akhir hayatnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asyari kembali ke Madzhab Salafi versi Wahhabi.
Fase Kedua: Al-Imam Abdullah Bin Sa’id Bin Kullab bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menurut kaum Wahhabi.
Fase Ketiga: Kitab Al-Ibanah karya Al-Imam Abu Hasan Al-Asyari iyalah kitab ketika di karang kembalinya Al-Imam Al-Asy’ari ke madzhab salafus sholeh versi wahabi,

Bantahan Kepada Kaum Wahhabi Yang Mengaku Bahwa Al-Imam Al-Asy’ari Mengalami Tiga Fase Peralihan Aqidah

Bantahan Pertama :
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari adalah Imam yang sangat ‘Alim di kalangan kaum Muslimin dan juga bukan laki-laki yang menyamarkan dirinya apalagi dalam kasus pengakuannya, dan sungguh masyhur beritanya, Al-Imam Al-Asy’ari memang awal mulanya menganut Madzhab Mu’tazilah, di kemudian hari Al-Imam Al-Asy’ari merujuk menjadi Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Al-Imam Abu Bakar Bin Furok berkata: “Al-Imam Al-Asy’ari memang pertama kali mengikuti Madzhab Mu’tazilah tapi setelah itu pindah ke Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”.

Bantahan kedua :
Al-Imam Abdullah Bin Sa’id Bin Kullab adalah Imam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, di dalam kitabnya Ghoyah Al-Marom Fi Ilmi Kalam, Al-Imam Ibnu Kullab berkata : “Aku adalah termasuk Ahlus Sunnah di masa Kholifah Al-Makmun Abdullah Bin Sa’id At-Tamimi, dan akulah yang membantah kaum Mu’tazilah di Majelis Kholifah Al-Makmun dan aku jelaskan tentang kebusukan Mu’tazilah”.

Al-Imam Ibnu Kholdun juga berkata :
“Sesungguhnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari mengikuti Metode (jalan) Al-Imam Ibnu Kullab dan Al-Imam Al-Haris Al-Mahasibi dan Al-Imam Al-Qolanisi, mereka semua adalah Ulama’ yang selalu mengikuti Metode (jalan) Salaf versi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”.

Bantahan ketiga :
Kitab Al-Ibanah karya Al-Imam Al-Asy’ari juga mengikuti metode Al-Imam Ibnu Kullab, bukan berarti Al-Imam Al-Asy’ari mengarang kitab Al-Ibanah kembali ke Madzhab Salaf versi Wahhabi”.

Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata : “Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari mengarang kitab Al-Ibanah di akhir hidupnya juga mengikuti metode Al-Imam Ibnu Kullab dan metode Al-Imam Ibnu Kullab juga sama dengan Metode Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari”.

Wafatnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari wafat pada tahun 324 H. Dan sungguh ketika itu para Ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sangat bersedih, sedangkan orang-orang Ahli Bid’ah sangat senang dengan Wafatnya Al-Imam Abul hasan Al-Asy’ari.

Referensi :
1. Thobaqot Al-Kubro Asy-Asyafi’iyah karya Al-Imam Tajuddin As-Subuki (Juz 3. Hal 365).
2. Tabyin Kidibz karya Al-Hafidz Ibnu ‘Asakir (Hal 103).
3. Thobaqot Al-Kubro Asy-Asyafi’iyah karya Al-Imam Tajuddin As-Subuki (Juz 3. Hal 360).
4. Muqaddimah Al-Luma’ karya Doktor Al-Ustadz Hamudah Ghorobah.
5. Wafiyat Al-A’yan karya Al-Imam Ash-Sofadi ( Juz 3. Hal 284).
6. Siyar An-Nubula’ karya Al-Hafidz Adz-Dhahabi (Juz 15. Hal 89).
7. Muqaddimah Al-Imam Ibnu Kholdun ( Hal 853).
8. Thobaqot Asy-Syafi’iyah karya Al-Imam Ibnu Qodi Suhbah (Juz 1. Hal 78).
9. Muqaddimah Al-Imam Ibnu Kholdun (Ibid).
10. Thobaqot Asy-Syafi’iyah karya Al-Imam Al-Asnawi (Juz 2. Hal 178).
11. Lisan Al-Mizan karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani ( Juz 3. Hal 291).